Perang
Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas
berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat
itu masuk 15 tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini:
berjihad bersama Rasulullah. Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak
pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu. Saat perang membuka kota Mekah
(Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda yang menonjol di medan
perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.
"Penting
sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah. Yang paling
kukhawatirkan ada tiga orang
: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.
: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar," Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota. Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.
"Adapun
Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn
Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga
berkeping-keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk dengan
urusan akhirat. Asal kamu tidak mengusik urusan akhiratnya ini, maka ia akan
membiarkan urusan duniamu."
Berkawan
Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang
jaya-jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang
tergoda memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi
itu dengan mempertegas dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih,
menjauhi kedudukan tinggi.
Ibn
Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan
berkawan dengan dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal
salat malam ini, ada riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat
karunia Allah. Setelah selesai salat bersama Rasulullah, ia pulang, dan
bermimpi. "Seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana
saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke sana. Dua
malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di
neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan
neraka," begitulah diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri
Rasul, Hafshah, keesokan harinya.
Hafshah
langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW bersabda,
ni’marrajulu 'abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru, akan menjadi
lelaki paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan banyak
melakukannya. Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibn Umar tak pernah
meninggalkan qiyamul lail, baik ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun
menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia
amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang selalu mencucurkan airmata
tatkala mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.
Soal
ini, 'Ubaid ibn 'Umair bersaksi, "Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada
Abdullah ibn Umar." 'Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka
bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi
(rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai saksi
atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan yang
mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan mereka tidak dapat
menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun." Maka Ibn Umar menangis
hingga janggutnya basah oleh air mata.
Pada
kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS
83:-6 yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam
takaran. Yakni orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain
meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya bila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka akan dibangkitkan nanti
menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri menghadap
Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam,
"yauma yaquumun naasu lirabbil 'alamiin", ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya
ia jatuh karena sekapan rasa duka mendalam dan banyak menangis.
Abdullah
ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu mendalam
cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila ia mendnegar
nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia lewat di sebuah
tempat yang pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, ia
akan memejamkan matanya, lantas butiran air bening meluncur dari sudut matanya.
Sebagai
sahabat Rasul, ahli ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya
dibenarkan Rasulullah, ia menjadi sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia.
Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak ia remaja, ketika pertama kali
gairahnya bangkit untuk ikut berjihad.
Dermawan.
Bagaimana mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia
pedagang yang sukses? Bisa saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak
karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia menerima gaji dari Baitul Maal.
Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk dirinya sendiri,
tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya
sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.
Suatu
ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin.
Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat Ibn
Umar sedang membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan berutang. Maka
Ayub ibn Wail ini mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman
(maksudnya Ibn Umar) menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju
dingin? Mengapa dia berutang untuk membeli pakan hewan tunggangannya?
"Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis dibagikannya. Mengenai baju
dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali ia sudah
tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu,
Ibn Umar bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin," demikian jawab
keluarga Ibn Umar.
Segera
saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi
dan berteriak. "Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap
dunia. Lihatlah Ibn Umar, datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham,
lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi ia membelikan hewan tunggangannya makanan
secara berutang."
Kedermawanan
Ibn Umar antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang
fakir miskin. Ia pun jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan
melarat kerap diajaknya makan bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya
sendiri lantaran mengundang jamuan makan untuk kalangan hartawan. "Kalian
mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan, dan kalian biarkan orang-orang
kelaparan."
Sang
dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam kesehariannya,
kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama kepada fakir
miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di
tepi jalan yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan mereka akan
terlihat oleh Ibn Umar dan diajak ke rumahnya.
Hati-hati.
Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa enggan berijtihad.
Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak
berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua
pahala bagi yang benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun
menolak jabatan kadi atau kehakiman. Padahal ini jabatan tertinggi di antara
jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga "basah".
Pernah
khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin
Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.
"Apakah
antum tak hendak menaati perintahku?"
"Sama
sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim
yang mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili
berdasarkan nafsu, ia pun dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad sedang
ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan berimbang, tidak berdosa tapi tidak
pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon kepada antum agar
dibebaskan dari jabatan itu."
Khalifah
menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan
penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi salih
mengetahui hal ini, niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah
demikian, pupuslah harapan khalifah mendapatkan kadi yang takwa dan salih.
Penolakan
itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat
Rasulullah masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang jabatan
itu. Ibn Umar sendiri sadar, penolakan itu takkan sampai berakibat jatuhnya
posisi kadi ke tangan yang tak pantas memegangnya.
Calon
Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq,
adalah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat
serangan mematikan dari Abu Lu’lu’ah. Dalam keadaan terluka parah, sejumlah
sahabat menemui Khalifah memberi saran. "Wahai Amirul Mu’minin, bukankah
sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang wakil yang akan menggantikan engkau?"
"Siapakah
orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk
dia sebagai pengganti." Salah satu sahabat berkata, "Saya akan
menunjukkan nama pengganti itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar."
"Demi
Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu.
Apa yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan
dari keluargaku aku seorang diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan
ditanya tentang hal-hal mengenai umat Muhamad saw ini."
Kondisi
Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para sahabat
menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi
nama-nama calon itu. "Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang
terdiri dari beberapa orang, dan orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang
yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela kepada orang-orang ini, dan
orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga. Mereka ialah
Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn
Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar."
Akhirnya
masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih,
tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai
mendorong terpilihnya Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan
luas ilmunya, wara’, dan memiliki kelebihan dan keistimewaan. Antara lain,
Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak perempuan Rasulullah SAW.
Tak
heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap
dimintai nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan kadi yang
kemudian ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.
Syahid
setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding
ayahandanya, Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau
612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah.
Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di masa
kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran
Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan
Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu
Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh
perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para
periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di
Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi
berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi
banyak diungkapkan penduduk Madinah.
Putra
Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam
bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu
Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna.
Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat
Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
Selama
60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan
menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari
Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut
tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia
juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada
Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi
ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama
Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan
sunni.
Abdullah
ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada
masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn
Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah,
Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid.
Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di
masjid itu.
Saat
itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran
Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar
berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, "Engkau
musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau
meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah." Al Hajjaj
menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?" Seseorang menjawab,
itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang
yang sudah pikun."
Seteleh
Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah
ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun
itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn
Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab.
Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi
Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
Ibn
Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab
sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn
Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’
dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman
ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.
Menghindari
Jabatan, Antikekerasan
Benar,
Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu
kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama
golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok
politik untuk menjadi khalifah.
Hasan
r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam
memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar,
"Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang
berbai’at kepada anda." Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah,
seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan
daku." Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak
kami bunuh di tempat tidurmu." Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa
pun bubar.
Sampai
suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar
mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan.
Jika bai’at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman
pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu.
Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah
menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas
menghardik Ibn Umar.
"Tak
seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali
engkau."
"Kenapa?
Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah
dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar
heran.
"Seandanya
kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."
"Saya
tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain
tidak."
Lagi-lagi,
Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian,
saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika
Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang
Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda
adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."
"Lantas
apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"
"Kita
gempur mereka sampai mau berbaiat."
"Demi
Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia
yang terbunuh disebabkan olehku."
Mendengar
jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.
"Api
fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang
kuat lagi perkasa." Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn
Yazid.
Sikap
penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut
Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang
berkata 'Marilah salat’, akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju
kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah
membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya’ aku katakan: tidak!"
Ini
bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih
umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah,
Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya.
Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan
pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu
berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh
menyedihkan." Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
Meskipun
pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang
kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak
mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka." Tapi kemudian, Ibn Umar
tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang
menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di
pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah
mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim." Lalu dibacanya Q.2:193,
perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang
beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.
Ibn
Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik
hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang?
Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari
pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab.
Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha
illallah"?
Selain
mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri
dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut
campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun yang terlarang. Wallahu’alam