Di Thaif, lelaki mulia itu terluka. Zaid bin Haritsah yang
mendampinginya pun ikut berdarah ketika berusaha memberikan perlindungan.
Penduduk negeri itu melemparinya dengan batu. Padahal, ajakannya adalah ajakan
tauhid. Seruannya adalah seruan untuk mengesakan Allah. "Agar Allah
diesakan dan tidak disekutukan dengan apapun." Namun, Bani Tsaqif malah
memusuhinya. Pejabat negeri itu menghasut khalayak ramai untuk menyambutnya
dengan cercaan dan timpukan batu.
Meski
diperlakukan sedemikian kasar, Rasulullah tetap pemaaf. Kecintaannya kepada
umat mengobati derita yang dialaminya. Beliau menolak tawaran Jibril yang siap
mengazab penduduk Thaif dengan himpitan gunung. Sebaliknya, ia mendoakan
kebaikan bagi kaum yang mencemoohnya itu, “Ya Allah, berilah kaumku hidayah,
sebab mereka belum tahu.”
***
Di Bukit
Uhud, pribadi pilihan itu kembali terluka. Wajah Rasulullah SAW
terluka, gigi seri beliau patah, serta topi pelindung beliau hancur. Fatimah Az-Zahra, putri beliau, bersusah payah untuk menghentikan pendarahan tersebut. Dua pelindungnya terakhir, Ali ra dan Thalhah ra juga terluka parah.
terluka, gigi seri beliau patah, serta topi pelindung beliau hancur. Fatimah Az-Zahra, putri beliau, bersusah payah untuk menghentikan pendarahan tersebut. Dua pelindungnya terakhir, Ali ra dan Thalhah ra juga terluka parah.
Bukit
Uhud menjadi saksi kekalahan pahit itu. Pasukan pemanah yang diperintahkan
menjaga bukit, dijangkiti gila dunia. Silaunya harta rampasan menggerogoti keikhlasan
mereka. Akibatnya, pasukan kaum muslimin porak-poranda dan Rasul pun terluka.
Meski kembali disakiti, cinta lelaki mulia itu tetap bergema, “Ya Tuhanku!
Berilah ampunan kepada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”
***
Thaif dan
Uhud merupakan hari-hari terberat sang Nabi. Pengorbanannya bagi umat tiada
berbanding. Iltizam terhadap dakwah mewarnai hari-hari Rasul akhir zaman itu.
Kecemasannya pada nasib umat selalu mengemuka. Ia adalah Rasul yang penuh cinta
kepada umatnya. Cinta itu berbalas, generasi sahabat (generasi pertama) adalah
generasi yang juga sangat mencintainya. Cinta yang diperlihatkan Zaid bin
Haritsah di Thaif ketika menjadi tameng bagi rasulnya. Cinta yang dibuktikan
Abu Dujanah, Hamzah dan Mush'ab bin Umair di bukit Uhud. Tapi, adakah generasi
terkini masih mencintainya? Apakah umatnya sekarang tetap menyimak sunnah yang
diwariskannya?
Sejarah
berbicara, semakin panjang umur generasi umatnya, semakin menjauh pula generasi
itu dari risalahnya. Umatnya saat ini, cenderung mencemooh segelintir mukmin
yang masih menghidupkan sunnah. Buku-buku sunnah mulai terpinggirkan. Kitab
Bukhari-Muslim harus bersaing dengan textbook dan diktat yang lebih menjanjikan
keahlian dan masa depan. Serial sirah nabawiyah hampir menghilang dari tumpukan
handbook dan ensiklopedia yang biasanya menjadi asksesoris di ruang tamu
keluarga muslim.
Aspek
sunnah dalam ber-penampilan dan berpakaian, ramai dikritisi dengan alasan tidak
praktis. Contoh dari Rasul dalam keseharian, pun semakin dihindari. Sunnah
dianggap simbol yang sifatnya tentatif, bukan sebagai panduan kehidupan
(minhaaj al-hayaah).
Apalagi dalam
aspek syar'i. Begitu banyak argumen yang dihembuskan sebagai 'pembenaran' untuk
berkelit dan menghindari aspek syar'i dari sunnah. Wabah 'ingkar sunnah' ini
mulai terjangkit dalam komunitas yang mengaku sebagai pengikutnya.
Keutamaan
ber-shalawat kepada nabi pun nyaris terlupakan. Padahal Rasul berjanji untuk
menghadiahkan syafaat bagi umatnya. “Setiap nabi memiliki doa yang selalu
diucapkan. Aku ingin menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari
kiamat” (HR Muslim).
Jurang
antara umat dengan warisan risalah Nabinya ini tentu merugikan. Kecemerlangan
pribadi Rasul nyaris tak dikenali umatnya. Padahal, dalam pribadinya ada
teladan yang sempurna. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab (33): 21).
Merujuk
kepada sunnah yang diwariskan Rasulullah adalah ungkapan kecintaan kepadanya.
Cinta pada Rasul yang lahir dari keimanan kepada Allah. “Katakanlah jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi
dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali
Imran (3): 31).
Mencintai
manusia mulia itu, berarti meneladani sirah nabawiyah sebagai panduan dalam
mengarungi kehidupan. Kecintaan yang akan meluruskan langkah kita untuk
ittibaa' (mengikuti) dan mewarisi komitmen untuk menyampaikan risalah kepada
masyarakat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Seorang hamba tidak beriman
sebelum aku lebih dicintainya dari keluarganya, hartanya dan semua orang.” (HR
Muslim).