..... sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali
faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits
ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana
syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat
memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya kecuali
yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang menurutnya
shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak demikian.
Setelah
merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai
dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya,
kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an
dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan
Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di sini dikatakan bahwa ia
seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan ‘aqidah para ulama Salaf;
menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dan menafikan apa
yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa melakukan Tahrif (perubahan),
Ta`wil (penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias
mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil
(Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau,
misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana
yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya,
bahwa siapa pun
makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya,
al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah
shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada
alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu
setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada
Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas
seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya
sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah
atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau
juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan
dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib
asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah
karya Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan
–kurang lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa
Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal
sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang
tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya,
amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab. Hal
ini dapat dimengerti, karena sejak dini, beliau sudah tinggal dan
berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan suku arab paling fasih
kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir mereka, karena itu ia
dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para ahli bahasa semasanya, di
antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh sastra Arab semasanya,
al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung sebelumnya.
Imam Ahmad
berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik
terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu,
pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh
tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub
bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir
semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan.
Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil,
ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku
di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam
asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan
ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan
pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain.
Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan
bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an,
ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali pun demikian
agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan hanya mencari
kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin dipandang dan
tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori sejarah ucapannya
yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang melainkan aku
tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran atas lisannya atau
lisanku.”
Sampai-sampai saking hormatnya Imam Ahmad kepada
gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia ditanya oleh anaknya tentang gurunya
tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i itu hingga ayahanda memperbanyak doa
untuknya?” ia menjawab, “Imam asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang
hari dan ibarat kesehatan bagi manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya
ini ada penggantinya.?”
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih
bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan fikirnya, ahli ibadah
dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata,
“Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun
demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia
selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam
al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa`
meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i
membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua
untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya,
Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama.
Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di
atas jalan keselamatan.
Betapa kita sekarang-sekarang ini lebih
berhajat kepada para ulama yang bekerja (‘amiliin), yang tulus
(shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin), yang menjadi tumpuan umat di
dalam menghadapi berbagai problematika yang begitu banyaknya, La hawla
wa la quwwata illa billaah.
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di
Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang
dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal
30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir
mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad
bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang
ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana
dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai
bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih
syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut
Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih
berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq
Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah
menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin
khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar,
juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan
juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi
yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam
beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik
bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah,
Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami
dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ .
Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu
As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di
Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan
pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”
Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik:
“Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di
majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam
Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih
bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau
juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti
bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru
yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam
Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan
memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim
bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin
Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini
adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama
dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan
berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir
hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya
ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini
seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi
yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari
Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau
mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba
ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan
Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan
di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i
menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan
mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab
qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan
madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm
di akhir bulan Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul
fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam
Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia
mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata
tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al
Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan
tinta (ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy
Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits,
bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki
sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah (kredibilitas agama dan moral),
zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya
yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja
masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga
tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai dasar
madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam
Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat
imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari
Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i
diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’
Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika
sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis)
adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
REFERENSI:
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i